31 C
Kupang
Selasa, September 16, 2025
Space IklanPasang Iklan

Johanes Bentah, Aktifis Manggarai Barat Bongkar Sejarah Gelap Taman Nasional Komodo

Kupang, TiTo – Aktifis Manggarai Barat, Johanes Bentah, menyoroti panjangnya perjalanan Taman Nasional Komodo (TNK) yang menurutnya merupakan kisah penuh ironi, Dari tangan masyarakat adat, direbut oleh negara, lalu digelontorkan ke korporasi.

Kepada timurtoday.id, Selasa (16/9) lewat layanan WhatsApp ia menyampaikan sejarah pengelolaan TNK sejak 1960-an memperlihatkan pola yang konsisten, penggusuran, penguasaan, hingga komersialisasi.

“Beberapa dekade lalu, warga adat Ata Modo diusir atas nama konservasi. Kini, tanah yang sama justru digadai ke korporasi swasta yang terhubung dengan politisi dan pebisnis nasional,” ungkap Johanes.

Dari Warga Adat ke Negara

Johanes menjelaskan, sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, pulau-pulau dalam TNK adalah ruang hidup masyarakat adat. Ata Modo di Pulau Komodo, misalnya, sudah berabad-abad hidup berdampingan dengan Sebae nama lokal satwa komodo yang diyakini sebagai saudara kembar mereka.

Namun, pada 1965, pemerintah mengubah Pulau Komodo menjadi Suaka Margasatwa, yang diikuti penggusuran paksa dengan dalih konservasi. “Itu titik awal pengkhianatan negara terhadap rakyatnya sendiri,” tegasnya.

Dari Negara ke Korporasi

Kritik Johanes makin tajam ketika membahas perubahan zonasi TNK pada 2012. Lewat SK Dirjen, ratusan hektare yang sebelumnya zona inti diubah menjadi zona pemanfaatan wisata darat.

“Dengan sekali goresan pena, negara mengubah ruang hidup warga menjadi ruang bisnis,” katanya.

Sejak itu, izin konsesi mengalir deras. PT Putri Naga Komodo (PNK) pada 2003, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) pada 2014, PT Segara Komodo Lestari di Rinca, dan PT Synergindo di Tatawa.

“Semua ini berpola sama: warga dipersempit ruangnya, korporasi dilebarkan sayapnya,” kritiknya.

PT KWE di Pulau Padar

Sorotan utama Johanes adalah rencana besar PT KWE di Pulau Padar. Perusahaan ini mendapat izin atas lahan seluas 274,13 hektare, dan kini berencana membangun 619 bangunan termasuk vila-vila eksklusif.

Baca juga  Tanah di Kecamatan Kota SoE Terus Bergeser, Longsoran dan Retakan Meluas Dari Kuatae ke Kampung Sabu, 708 Jiwa Mengungsi

“Bayangkan, kawasan yang dulu disebut zona inti konservasi, kini akan dipenuhi bangunan beton. Itu pengkhianatan paling terang-benderang,” ujarnya.

Johanes juga mengkritik cara pemerintah menggelar “konsultasi publik” pada Juli 2025 di Golo Mori. Menurutnya, forum itu hanyalah formalitas untuk meloloskan proyek.

“Tidak ada yang mendengarkan suara warga adat. Suara masyarakat hanya dijadikan tempelan agar proyek korporasi terlihat sah,” katanya.

Warisan Penggusuran dan Perlawanan

Johanes menekankan, kisah TNK adalah warisan luka panjang: penggusuran paksa di Loh Liang, pembatasan akses laut, relokasi warga, hingga kebijakan tarif mahal yang pernah dipaksakan PT Flobamor.

“Setiap kali rakyat melawan, negara selalu berpihak ke investor. Sementara masyarakat adat hanya jadi penonton di tanahnya sendiri,” ucapnya.

Ia menutup kritiknya dengan seruan keras agar pemerintah menghentikan pola “jual-beli” kawasan konservasi.

“TNK bukan milik presiden, menteri, apalagi politisi Jakarta. TNK adalah warisan dunia dan warisan leluhur masyarakat adat. Negara tidak boleh jadi calo untuk korporasi,” tegasnya.(Jmb)

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Tetap Terhubung

Berita terkini