Kupang, TiTo – Nama lengkapnya Magdalena Helda Wati Takumau, S.Pd warga desa Sahraen, salah satu desa di wilayah pesisir selatan Amarasi kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ia sempat mengabdi kepada negeri sebagai guru honorer selama kurang lebih sembilan tahun di dua sekolah berbeda di kecamatan Amarasi Selatan. Dibenaknya terpatri sebuah harapan dan tekad besar, kelak bisa menjadi seorang guru berstatus Aparat Sipil Negara (ASN) lewat jejak pendidik honorer di wilayah selatan Amarasi. Namun harapan itu sirnah setelah jejak pengabdiannya sebagai guru honor diputus sang kepala sekolah. Magdalena tetap berupaya bagaimana ia bisa tetap sebagai seorang pendidik.
Dalam suratnya kepada dinas Pendidikan kabupaten Kupang yang diterima timurtoday.id, Rabu (9/10) Magdalena mengungkap kisah pilu yang dialami, dipecat sepihak oleh kepala sekolah.
Magdalena berkisah pada tahun 2014 lalu ia diterima pihak SMP Kristen 2 Amarasi Selatan sebagai tenaga pendidik berstatus honorer komite. Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang ia ajari untuk sekian banyak generasi penerus bangsa yang menempuh pendidikan di sekolah itu.
Namun tahun 2022 menjadi masa akhir pengabdian guru Magdalena di sekolah bernafaskan agama itu. Pengabdiannya tiba-tiba disetop oleh keputusan kepala sekolah, Agustinus Runesi. “Hanya karena saya sakit dan tidak masuk sekolah atau tidak mengajar dua hari,”demikian ungkapan tertulis Magdalena soal alasan pemberhentian dirinya sebagai guru honor yang termuat dalam suratnya kepada dinas pendidikan kabupaten Kupang.
Magdalena kaget dan kecewa dengan keputusan Kasek Agustinus Runesi itu. Ia berupaya untuk bertemu untuk mendapatkan penjelasan kasek Runesi soal itu namun kesempatan itu tak diperoleh.
Bahkan kisah Magdalena saat ia tengah mengajar di kelas, salah seorang teman gurunya menghampiri dan menyampaikan pesan kepala sekolah agar ia mengambil tasnya dan tinggalkan sekolah itu saat itu juga.
Ia kemudian mengadukan persoalan itu ke pihak dinas pendidikan kabupaten Kupang namun kepala dinas pendidikan waktu itu menyarankannya untuk berkoordinasi dengan Sinode GMIT karena sekolah itu adalah sekolah swasta yang bernaung dibawah yayasan GMIT. Namun saat ia mendatangi bidang pendidikan di kantor Sinode GMIT, pejabat yang dituju tidak berada ditempat.
Guru Magdalena menyerah dalam upayanya untuk kembali bisa mengajar di SMP Kristen 2 Amarasi Selatan.
Ia kemudian melamar ke SMP Negeri 4 Amarasi Selatan dan diterima untuk mengajar.
Namun ia kembali mengalami hal yang sama setelah beberapa bulan mengajar. Kepsek Ananias Niubabi memberhentikannya sebagai guru honorer.
Kabar pemberhentian itu ungkap guru Magdalena, diterima dari wakil kepala sekolah, Tika Narang yang meneruskan pesan singkat kepala sekolah yang memintanya untuk menyampaikan kepada Magdalena untuk tak lagi mengajar. “Alasannya saya tidak ikut rapat dan tidak ikut berpartisipasi dalam acara perpisahan dengan siswa siswi kelas IX,”tulis Magdalena dalam suratnya.
Ia kemudian menemui kepala sekolah Ananias untuk meminta penjelasan. Namun kepala sekolah Ananias bersikeras dengan keputusannya itu dengan alasan keputusan itu adalah keputusan rapat pihak sekolah.
Magdalena menerima keputusan itu dengan kekecewaan yang mendalam. Namun ia terus berupaya agar statusnya di Dapodik tetap terjaga sehingga ia kini mengabdi di salah satu PAUD yang ada di desa itu agar namanya di Dapodik tidak hilang dan tunjangan transportasi daerah tetap bisa diterima.
Pihak dinas pendidikan maupun kepala sekolah belum berhasil dikonfirmasi soal isi surat guru Magdalena. (Jmb)