25.4 C
Kupang
Selasa, Juli 1, 2025
Space IklanPasang Iklan

(Opini) Hutan Besipae : Konflik Tanah, Pembangunan dan Perjuangan Pembangunan Perempuan NTT Yang Tak Kunjung Usai

Oleh
Innosensia E.I.N Satu  &
Didimus Dedi Dhosa
(Dosen Universitas Katolik Widya Mandira Kupang)
Perhatian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap polemik hutan Besipae, pembangunan yang meminggirkan, dan nasib masyarakat yang diusir dari kawasan itu kian memudar. Euforia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan minimnya pemberitaan media arus utama membuat isu Besipae nyaris terlupakan, meski dampaknya terhadap masyarakat, khususnya perempuan masih nyata hingga kini.
Sejarah Hutan Besipae:
Pembangunan yang Paradoks
Sejarah pengelolaan hutan Besipae adalah cermin paradoks pembangunan. Pada 1982 hingga 1987, pemerintah provinsi memberikan izin kepada pihak Australia untuk mengembangkan ternak terpadu di kawasan ini. Namun, setelah kontrak berakhir, pengelolaan diambil alih oleh pemerintah dengan berbagai program, termasuk gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN).
Alih-alih memperbaiki kawasan, laporan WALHI NTT menunjukkan penghancuran hutan seluas 1.050 hektare terjadi akibat kebijakan tersebut. Praktik penggembalaan ternak yang intensif disertai pembabatan hutan menggerus kelestarian kawasan dan memicu konflik antara pemerintah dan masyarakat adat Besipae.
Pemerintah menuduh masyarakat adat mengokupasi lahan milik negara, sementara masyarakat adat menolak klaim tersebut, menganggap tanah tersebut adalah warisan leluhur mereka. Konflik ini berujung pada intimidasi, kekerasan, hingga pengusiran puluhan kepala keluarga dari kawasan Besipae.
Perempuan Besipae
Di Antara Trauma dan Perjuangan
Pengusiran massal di Besipae membawa penderitaan besar, terutama bagi perempuan. Mereka harus menanggung beban fisik dan psikologis secara serentak, mulai dari memikirkan kebutuhan harian keluarga, memastikan pendidikan anak-anak, hingga berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka.
Mama Damaris, salah satu pemimpin perempuan di Besipae, menjadi simbol perjuangan melawan kebijakan pemerintah yang dianggap menindas. Ia bersama kelompok perempuan lainnya menggelar demonstrasi untuk mendesak pemerintah mengubah kebijakan penguasaan hutan, mengakui hak masyarakat adat, dan memulihkan akses perempuan terhadap hasil hutan.
Namun, perjuangan mereka tak lepas dari trauma. Perempuan Besipae sering merasa cemas ketika masuk ke area hutan, takut menghadapi intimidasi aparat keamanan. Memori kekerasan yang pernah mereka alami masih membekas.
Beban Ganda Perempuan di Tengah Konflik
Selain menghadapi konflik, perempuan Besipae juga memikul beban ekonomi keluarga. Dengan akses yang terbatas, mereka mencoba bertahan hidup melalui ekonomi kreatif, seperti menjual hasil hutan atau membuka kios kecil. Pendapatan ini sebagian besar dialokasikan untuk pendidikan anak dan kebutuhan rumah tangga, meski sering kali tidak mencukupi.
Tantangan lain yang mereka hadapi adalah akses terhadap air bersih dan gizi anak-anak. Air harus dibeli dari dataran rendah dengan biaya yang tidak murah. Kondisi ini memengaruhi kesehatan keluarga, terutama anak-anak, yang kerap kekurangan gizi.
Mempertanyakan Komitmen Pemerintah
Perempuan Besipae, seperti Mama Damaris dan kelompoknya, terus mendesak pemerintah untuk membuka kembali dokumen terkait perubahan status hutan Besipae dan meninjau ulang sejarah penyerahan tanah masyarakat adat kepada pemerintah. Mereka juga meminta kejelasan atas janji pemerintah yang pernah berkomitmen memberikan tanah dan tempat tinggal kepada warga terdampak.
Namun, hingga kini, pemerintah terkesan menutup telinga terhadap desakan masyarakat adat dan tuntutan perempuan Besipae. Kebijakan monopoli atas pengelolaan hutan tidak hanya memperparah konflik, tetapi juga meminggirkan perempuan dari akses dan hak atas tanah mereka.
Akhir Dari Beban Jamak Perempuan Besipae
Kapan beban jamak perempuan Besipae akan berakhir? Pertanyaan ini tetap menggantung di tengah kemandekan kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Di saat pemerintah sibuk mempertahankan hak atas tanah, perempuan Besipae terus memikul tanggung jawab besar untuk keluarga mereka, baik di rumah maupun dalam perjuangan di arena publik.
Hutan Besipae seharusnya menjadi simbol harmoni antara pembangunan dan keberlanjutan, bukan saksi bisu atas konflik dan penderitaan. Pemerintah perlu segera mengubah pendekatan, mendengar suara masyarakat adat, dan mengutamakan kebijakan yang berkeadilan. Karena, seperti yang terlihat di Besipae, pembangunan tanpa manusia hanya akan menyisakan luka dan kehilangan. ***

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Tetap Terhubung

Berita terkini