Kupang – Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan Validasi dan verifikasi faktual terhadap Kapala Keluarga (KK) yang masuk dalam kategori miskin ekstrim.
Hal itu dilakukan secara periodik untuk memastikan intervensi program penurunan angka kemiskinan ekstrim tepat sasaran.
Sekertaris Daerah (Sekda) Kota Kupang Fahrensy P. Funay Jumat, (29/11) mengatakan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang menunjukan pada akhir 2023 lali angka kemiskinan ektrem kota Kupang sebanyak 15.300 KK.
Dari validasi dan verifikasi data secara faktual yang dilakukan baru-baru ini jumlah KK yang masuk kategori miskin ekstrem hanya 4.695 KK. “Sampai 2023, dari 15 menjadi 12, dan terakhir itu kita 4.695 KK. Kemarin baru saya tanda tangan penetapan kemiskinan ekstrim,”katanya.
Sementara penjabat walikota Kupang, Linus Lusi pada Senin (2/12) mengatakan Pemkot Kupang telah menargetkan angka kemiskinan ekstrem menjadi nol pada tahun 2026. Saat ini, angka kemiskinan umum di Kota Kupang berada pada 8,61 persen, sedangkan kemiskinan ekstrem tercatat sebesar 3,7 persen.
Dikatakan ada Lima Indikator kemiskinan Ekstrim di Kota Kupang yang kini menjadi fokus penanganan untuk menurunkan angka kemiskinan.
Hal pertama yang dilihat adalah kondisi tempat tinggal masyarakat. Untuk itu Pemerintah Kota selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan warga sehingga angka kemiskinan ekstrim bisa diturunkan atau ditiadakan.
“Banyak keluarga yang tinggal di rumah semi-permanen atau gubuk yang terbuat dari bahan seadanya seperti seng bekas, papan kayu, atau terpal. Akses ke air bersih sering kali terbatas, dengan banyak rumah tangga bergantung pada sumur bersama atau pembelian air dari penjual keliling. Sanitasi yang buruk, dengan tidak adanya toilet atau saluran pembuangan yang memadai.
Hal kedua yang dilihat dalam kriteria kemiskinan ekstrim jelas Linus Lusi adalah pendapatan dan pekerjaan masyarakat. Sebagian besar penduduk miskin ekstrem bekerja di sektor informal, seperti buruh harian, pedagang kecil, atau pemulung, dengan pendapatan tidak tetap.Ketergantungan pada pekerjaan musiman, seperti nelayan atau petani kecil, yang hasilnya sangat dipengaruhi oleh cuaca atau musim.
“Hal ketiga yang dilihat terkait penilaian kemiskinan ekstrim tu adalah akses terhadap pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali tidak dapat melanjutkan pendidikan karena biaya sekolah, seragam, atau buku yang tidak terjangkau. Banyak anak terpaksa bekerja sejak usia dini untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga putus sekolah menjadi hal yang umum.
Masalah Kesehatan lanjut Linus Lusi adalah hal keempat yang menjadi indikator dari kemiskinan ekstrim di sebuah wilayah. Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, termasuk minimnya fasilitas medis atau biaya pengobatan yang terlalu tinggi. Malnutrisi sering menjadi masalah, terutama pada anak-anak, akibat asupan makanan yang tidak cukup atau tidak bergizi.
Hal terakhir atau yang kelima ungkap Linus Lusi adalah Kerentanan terhadap Krisis. Keluarga miskin ekstrem sangat rentan terhadap perubahan ekonomi, bencana alam, atau pandemi. Kota Kupang yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur sering menghadapi cuaca ekstrem seperti kekeringan, yang memperburuk kondisi masyarakat miskin.
Untuk mengatasi kemiskinan ekstrim di Kota Kupang, berbagai upaya upaya penanggulangan telah diupayakan seperti Program bantuan sosial (Bansos) berupa uang tunai atau sembako. Penyediaan air bersih dan perbaikan sanitasi.Pelatihan keterampilan untuk menciptakan peluang kerja yang lebih baik.
“Pemberian akses pendidikan gratis atau subsidi biaya sekolah. Meski berbagai program telah dilakukan, tantangan besar tetap ada, terutama dalam menciptakan solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Penguatan ekonomi lokal, peningkatan akses pendidikan, dan pengembangan infrastruktur menjadi kunci untuk mengatasi kemiskinan ekstrem di Kota Kupang,” pungkas Linus Lusi. (Jmb)