Kota Kupang, TiTo – Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Peternak dan Pengusaha Sapi Indonesia (PEPPSI) menyatakan Sistim Perizinan pengiriman sapi antarpulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu direformasi menyusul adanya sejumlah masalah yang ditemukan yang dampaknya bisa melemahkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di sektor peternakan terutama Sapi.
“Tata niaga sapi antar pulau memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai permasalahan telah muncul dalam pelaksanaannya. Ketimpangan dan ketidakpercayaan terhadap sistem perizinan menjadi isu utama yang berdampak langsung pada kesejahteraan peternak dan keberlangsungan usaha UMKM. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam sistem perizinan pengiriman sapi antar pulau,”ungkap Ketua umum DPP PEPPSI, Meidelzed Amtiran, dalam rapat dengan komisi II DPRD NTT, Rabu (23/4). Dalam rapat tersebut Meidelzet Amtiran didampingi Sekjen Okto Amnifu, bendahara umum Jacson Nitti, Wakil ketua Willi Obehetan, Peter Bano ketua DPD PEPPSI NTT, Melki Tanehe ketua DPC PEPPSI kabupaten Kupang.
Meidelzet Amtiran menyebut sejumlah masalah yang ditemukan dalam praktik pengiriman sapi antar pulau di NTT yakni soal Sistem Pembagian Kuota Per Kabupaten.
Disitu ungkap Amtiran ditemukan adanya ketidakadilan distribusi rekomendasi. Ada pengusaha yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit sapi namun mendapatkan rekomendasi dalam jumlah besar. Sebaliknya, peternak dengan kepemilikan sapi yang memadai sering kali tidak memperoleh rekomendasi sesuai dengan kapasitas mereka.
PEPPSI juga menemukan adanya indikasi Praktik Pungutan Liar (Pungli) dalam proses pengurusan rekomendasi di tingkat kabupaten yang membebani pelaku usaha.
“Praktik Calo atau Makelar Rekomendasi, Munculnya oknum yang mengurus rekomendasi tanpa kepemilikan sapi dan kemudian menjualnya kepada pihak lain dengan harga tinggi,”ungkap Amtiran.
Ia juga mengungkap adanya monopoli oleh Pengusaha besar yang memiliki koneksi kuat sering kali menguasai rekomendasi dalam jumlah besar sehingga menciptakan ketimpangan usaha.
Ada juga terjadi persaingan tidak sehat antar pengusaha yang mengarah ke konflik hukum. Hal itu dianggap PEPPSI mengganggu stabilitas usaha.
Tak hanya persoalan menyangkut sistim pengiriman, PEPPSI juga menemukan indikasi masalah soal Persyaratan Teknis dan Administratif dalam ketentuan Pergub No. 52 Tahun 2023.
Beberapa ketentuan dalam pergub tersebut kata Amtiran sulit dipenuhi oleh peternak dan pengusaha kecil diantaranya menyangkut syarat berat sapi yang bisa dikirim keluar Minimum 275 kg.
“Kondisi bibit sapi yang tidak unggul dan keterbatasan lahan pakan membuat pengusaha kecil sulit dicapai dalam satu tahun. Sementara, peternak membutuhkan hasil penjualan sapi dalam waktu cepat untuk kebutuhan hidup,”katanya.
Ketentuan minimal luas lahan ranch 50 hektare dan kandang berkapasitas 1.000 ekor juga dianggap sangat memberatkan pengusaha UMKM.
Atas sejumlah persoalan tersebut PEPPSI mengusulkan Penghapusan Sistem Kuota per Kabupaten. Jumlah sapi yang dikirim dari kabupaten tidak dibatasi kuota tetap, melainkan berdasarkan jumlah riil sapi yang layak kirim setelah melalui proses verifikasi.
Usulan berikutnya, menyangkut peran kabupaten dalam Verifikasi tetap memiliki fungsi strategis sebagai pelaksana teknis di lapangan, yakni menyangkut penimbangan sapi untuk memastikan berat minimum, Menerbitkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan Memberikan identitas resmi pada sapi, misalnya melalui eartag.
PEPPSI juga mengusulkan untuk dilakukan Sentralisasi Pengurusan Izin di Provinsi. Artinya pengendalian kuota pengiriman sapi dilakukan oleh pemerintah provinsi. “Pengusaha mengajukan izin ke pemerintah provinsi dengan melampirkan bukti hasil verifikasi dari kabupaten,”katanya.
Diusulkan pula bahwa Pemerintah provinsi menerbitkan jumlah izin berdasarkan data aktual sapi yang memenuhi syarat sesuai hasil verifikasi. Peninjauan kembali persyaratan administrasi dan persyaratan tekhnis dalam pergub 52 tahun 2023 agar bisa dipenuhi oleh peternak dan pengusaha UMKM.
“Reformasi sistem perizinan pengiriman sapi antar pulau merupakan langkah krusial untuk menciptakan tata niaga yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Diharapkan, dengan usulan ini, kesejahteraan peternak meningkat, praktik pungli dan monopoli dapat ditekan, serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin kuat,”tutup Meidelzed Amtiran.
Rapat tersebut digelar komisi II DPRD NTT bersama sejumlah Instansi tekhnis dan asosiasi peternak pengusaha sapi untuk membahas tata niaga ternak di NTT. Revisi Pergub 52/2023 tentang Tataniaga ternak menjadi poin kesepakatan dalam rapat tersebut.(Jmb)