Oleh : Drs. Santoso, M.Si (Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Pemalang)
Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang memperbolehkan kepala daerah baru mengganti pejabat tanpa harus menunggu 6 bulan menimbulkan berbagai reaksi. Kebijakan ini, yang sebelumnya melarang penggantian pejabat dalam kurun waktu tersebut, kini diubah. Namun, apakah langkah ini sudah tepat? Sebagai mantan birokrat yang memahami manajemen sumber daya manusia (SDM), saya memandang keputusan ini berisiko jika tidak dikaji mendalam.
Kepala daerah yang baru dilantik membutuhkan waktu untuk memahami tugas dan fungsi, baik dari sisi administratif, yuridis, maupun teknis. Selain itu, mereka juga perlu melakukan orientasi lapangan untuk memahami kebutuhan daerahnya secara komprehensif. Jika pergantian pejabat dilakukan secara tergesa-gesa, dikhawatirkan akan berdampak negatif pada kinerja pemerintahan. Kepala daerah membutuhkan waktu untuk mengenal tim kerjanya, memetakan kompetensi, dan memastikan roda pemerintahan berjalan sesuai visi dan misi yang diusung.
Kontra Produktif Jika Dilakukan Tergesa-gesa
Pergantian pejabat ASN sebelum enam bulan dapat berpotensi melanggar prinsip merit system.
Prinsip ini mengharuskan pengangkatan atau mutasi pejabat berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja tanpa membedakan latar belakang politik, suku, agama, atau preferensi tertentu. Jika proses ini dipengaruhi oleh kepentingan politik semata, maka dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan menghambat pelayanan publik.
Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa merit system merupakan pilar penting dalam reformasi birokrasi. Hingga 2023, sekitar 42% instansi pemerintah di Indonesia telah memperoleh predikat baik dalam penerapan merit system. Namun, jika politisasi terus mendominasi, angka ini dapat terancam stagnan atau bahkan menurun.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang
Komisi II DPR RI mengkritik tindakan beberapa penjabat kepala daerah yang melakukan mutasi pegawai secara besar-besaran tanpa dasar yang jelas. Hal ini melanggar Pasal 132A Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, yang melarang mutasi ASN tanpa izin tertulis dari Mendagri. Penjabat kepala daerah yang melanggar aturan ini berpotensi diberhentikan dari jabatannya, seperti yang ditegaskan oleh Mendagri.
Namun, dengan kebijakan baru yang lebih fleksibel, potensi penyalahgunaan wewenang semakin besar. Menurut Deddy Sitorus, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, kebijakan yang longgar ini dapat menjadi celah untuk kepentingan tertentu, terutama jika jadwal pelantikan kepala daerah terus diundur.
Urgensi Peninjauan Kebijakan
Pernyataan Mendagri Tito Karnavian sebaiknya ditinjau kembali untuk memastikan bahwa penggantian pejabat ASN tetap memperhatikan prinsip-prinsip profesionalisme dan transparansi. Kebijakan ini seharusnya didukung dengan pengawasan yang ketat agar kepala daerah tidak menyalahgunakan wewenangnya. Selain itu, pelibatan Komisi ASN untuk memastikan bahwa setiap mutasi atau penggantian pejabat dilakukan secara objektif sangat diperlukan.
Keputusan untuk memperbolehkan kepala daerah mengganti pejabat ASN tanpa menunggu enam bulan harus dikaji ulang. Kepala daerah yang baru dilantik memerlukan waktu untuk beradaptasi dan memahami struktur pemerintahan yang ada. Kebijakan ini seharusnya tetap berpegang pada prinsip merit system agar tidak menjadi alat politisasi. Reformasi birokrasi yang tengah diupayakan harus dijaga keberlanjutannya, bukan justru mundur karena tekanan kepentingan politik jangka pendek.
Mari kita dorong kebijakan yang lebih adil, profesional, dan transparan demi pelayanan publik yang lebih baik. (RedG/g-news.id)