Atambua, TiTo – Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) segera menggelar rapat untuk menentukan jadwal pleno penetapan pasangan calon (Paslon) kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada tahun 2024 kemarin.
“Kpu akan melakukan rapat pleno penetapan calon terpilih pasca putusan MK antara tanggal 25, 26 27 (februari 2025),”ungkap sekretaris KPU Belu, Simon Arfaksad Lau kepada timurtoday.id, Senin (24/2) malam.
Informasi tersebut disampaikan Simon Arfaksad Lau terkait proses lanjutan oleh KPU Belu pasca Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pasangan calon (paslon) Bupati-Wakil Bupati Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) nomor urut 2, Agustinus Taolin dan Yulianus Tai Bere, Senin (24/2) malam.
Saat menyampaikan informasi tersebut Simon mengatakan pihaknya sementara dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Atambua usai mengikuti sidang putusan perkara tersebut di MK.
Dalam persidangan perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima permohonan pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere selaku Pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan umum bupati (PHPU Bup) Kabupaten Belu dengan perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 tersebut.
Pemohon diketahui mendalilkan calon wakil bupati nomor urut 1 Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan, karena pernah lakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta, Senin (24/2/2025).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pertimbangan Mahkamah, bahwa Vicente Hornai Gonsalves memang pernah dihukum penjara selama 11 bulan pada 17 Januari 2004.
Hal tersebut tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri (PN) Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB
Calon wakil bupati terpilih Kabupaten Belu itu dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 332 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mahkamah berpendapat bahwa tersebut mengatur mengenai Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, sebagaimana termaktub dalam BAB XVIII.
“Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan seksual terdapat dalam BAB yang berbeda, yaitu BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Oleh karena itu, tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Arief.
Di samping itu, Vicente Hornai Gonsalves juga sudah menyampaikan statusnya sebagai mantan narapidana. Sebab dalam Formulir Pernyataan Surat Rekomendasi Catatan Kriminal yang dikeluarkan Kepolisian Resor Belu Nusa Tenggara Timur (NTT), calon wakil bupati nomor urut 1 itu dengan tulisan tangan telah menerangkan bahwa dirinya pernah dihukum pada 2004 dan sudah diputus di PN Atambua.
“Sehingga menurut Mahkamah, pengusulan bakal calon, pemeriksaan bakal calon, hingga penetapan calon telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme, tata cara, dan prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan,” ujar Arief.
Karena tidak dapat dibuktikannya dalil pokok permohonan Pemohon, pemberlakuan Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tidak beralasan untuk disimpangi. Pemohon tidak memenuhi ketentuan pasal tersebut yang berkenaan dengan kedudukan hukum.
“Andaipun ketentuan tersebut disimpangi, quod non, telah ternyata dalil-dalil pokok permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Arief.
Diketahui, Pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere selaku Pemohon mendalilkan Vincente Hornai Gonsalves tak memenuhi persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Vicente diketahui sebagai calon wakil bupati nomor urut 1 pernah terlibat kasus tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003 dan divonis 11 bulan penjara pada Januari 2004.
Yafet Yosafet Wilbel Rissy yang dihadirkan sebagai Ahli Pihak Terkait menjelaskan, kasus tersebut bukanlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004. Guru Besar Universitas Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW) itu menyampaikan, Vicente Hornai Gonsalves dikenai Pasal 332 ayat 1 KUHP yang berkaitan dengan melarikan perempuan di bawah umur. Calon wakil bupati nomor urut 1 itu tidaklah dijatuhkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lanjutnya dari sisi pengaturan Pasal 332 ayat 1 KUHP, melarikan perempuan di bawah umur adalah salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal 295 KUHP.
“Ahli berpendapat, jika dibandingkan antara Pasal Pasal 332 ayat 1 dengan Pasal 287 sampai Pasal 295, terlihat jelas bahwa tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tidaklah sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Tindak kekerasan seksual terhadap anak, tindak pidana itu diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar Yafet.
Putusan MK tersebut menjadi dasar KPU Belu untuk melanjutkan proses pilkada Belu ke tahapan berikutnya. Hasil Pilkada Belu 27 November 2024 kemarin, pasangan calon (Paslon) bupati -wabup nomor urut 1, Willybrodus Lay dan Vincente Hornai Gonsalves meraih suara terbanyak mengungguli Paslon lainnya.(Jmb / Humas MK RI)