32.3 C
Kupang
Kamis, Juni 19, 2025
Space IklanPasang Iklan

(OPINI) Polemik Seleksi dan Pengangkatan Dirut PDAM Kabupaten Kupang : Memciderai Prinsip Supremasi Hukum Dalam Tata Kelola Pemerintah

Oleh : Jhony K. Tiran

Di tengah upaya pemerintah untuk mewujudkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat Kabupaten Kupang belakangan ini disuguhkan dengan polemik proses seleksi dan pengangkatan Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kontroversi ini bukan tanpa alasan—proses tersebut dinilai melanggar ketentuan yang secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Pengawas atau Komisaris dan Anggota Direksi Badan Usaha Milik Daerah serta Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 tentang Organ dan Kepegawaian Badan Usaha Milik Daerah Air Minum telah menetapkan persyaratan yang jelas. Ketentuan Pasal 35 Permendagri tersebut tanpa ambiguitas mengatur bahwa calon Dirut PDAM harus berumur antara 35 hingga 55 tahun pada saat mendaftarkan diri.

Namun, fakta yang terungkap di masyarakat mengindikasikan bahwa calon terpilih Dirut PDAM Kabupaten Kupang berusia lebih dari 55 tahun. Pertanyaan yang kemudian mengemuka: Bagaimana anomali ini bisa terjadi? Apakah ini murni ketidaktahuan tim seleksi dan Bupati Kupang terhadap regulasi yang berlaku, ataukah ada unsur kesengajaan untuk mengabaikan aturan demi kepentingan tertentu?

Arti Penting Supremasi Hukum dalam Negara Demokratis

Negara Indonesia adalah negara hukum—bukan sekadar slogan, melainkan prinsip fundamental yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensinya jelas : seluruh kebijakan dan tindakan pemerintah, termasuk di tingkat daerah, harus memiliki landasan hukum yang kuat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Supremasi hukum (Rule of Law) menjadi nafas dari negara hukum, yang mengamanatkan bahwa seluruh elemen—pemerintah maupun rakyat—tunduk pada hukum yang sama. Tidak ada pihak yang kebal atau memiliki privilese untuk mengabaikan aturan, bahkan dengan dalih kebutuhan birokrasi atau pertimbangan politis.

Kesadaran akan prinsip ini tampaknya telah mendasari sikap tegas Kementerian Dalam Negeri, yang melalui dua regulasi tersebut menetapkan batasan usia sebagai salah satu persyaratan administratif dalam seleksi calon Dirut PDAM. Pembatasan ini bukan tanpa tujuan—usia 35-55 tahun diyakini sebagai rentang optimal yang memungkinkan seorang pemimpin memiliki cukup pengalaman sekaligus energi untuk mengelola BUMD secara efektif.

Penegasan Pasal 7 ayat (1) Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 bahwa “Direksi dipilih dan diangkat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan” seharusnya tidak memberikan ruang interpretasi yang ambigu. Aturan ini menjadi mandat imperatif bagi seluruh Kepala Daerah, termasuk Bupati Kupang, untuk menaati ketentuan yang telah ditetapkan.

Baca juga  Dukung Masyarakat Tolak Perubahan Status Cagar Alam Mutis 

Ketika Proses Seleksi Mengabaikan Aturan Main

Kegagalan tim seleksi Dirut PDAM Kabupaten Kupang untuk menggugurkan calon yang tidak memenuhi persyaratan umur sejak tahap seleksi administratif merupakan indikasi lemahnya komitmen terhadap profesionalisme dan akuntabilitas. Padahal, sejatinya fase seleksi administratif dirancang justru untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang memenuhi seluruh persyaratan formallah yang diperbolehkan melanjutkan ke tahapan berikutnya.

Gambaran kontras ditemukan pada proses seleksi Dirut PDAM Kota Surabaya pada tahun 2021. Tim seleksi di kota tersebut menunjukkan keteguhan dalam menegakkan aturan dengan menggugurkan Fuad Benardi—putra dari Menteri Sosial dan mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharini—karena tidak memenuhi persyaratan administratif. Langkah tegas ini membuktikan bahwa ketaatan terhadap aturan dapat ditegakkan terlepas dari status sosial atau koneksi politik kandidat.

Komparasi dua kasus ini menggambarkan secara telanjang bagaimana sikap profesional tim seleksi dapat menjadi penjaga gawang pertama dalam melindungi integritas proses pengisian jabatan publik. Di Surabaya, tim seleksi berhasil memainkan peran ini dengan baik; sementara di Kabupaten Kupang, gawang tata kelola yang baik seolah dibiarkan tak terjaga.

Implikasi Pengabaian Aturan terhadap Legitimasi Kepemimpinan

Pengangkatan pejabat yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum menciptakan masalah legitimasi yang serius. Legitimasi tidak sekadar bersumber dari keputusan administratif berupa Surat Keputusan pengangkatan, tetapi juga dari kepatuhan terhadap prosedur hukum yang menjadi prasyarat pengangkatan tersebut.

Dirut PDAM yang diangkat melalui proses yang terindikasi melanggar ketentuan normatif akan menghadapi defisit legitimasi yang dapat melemahkan efektivitas kepemimpinannya. Bagaimana mungkin seorang pejabat yang proses pengangkatannya sendiri mencederai prinsip supremasi hukum diharapkan dapat menegakkan kepatuhan terhadap aturan dalam organisasi yang dipimpinnya?

Di level yang lebih luas, toleransi terhadap pelanggaran semacam ini berpotensi menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Inkonsistensi antara retorika dan praktik penyelenggaraan pemerintahan dapat memperlebar jurang keterpisahan antara pemerintah dan warga yang seharusnya dilayani.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pengabaian aturan dalam satu kasus dapat menciptakan preseden berbahaya bagi penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Ketika batasan usia—sebagai persyaratan yang relatif eksplisit dan mudah diverifikasi—dapat diabaikan, maka persyaratan lain yang lebih substantif dan kompleks akan lebih rentan terhadap pelanggaran serupa.

Urgensi Penguatan Peran DPRD

Baca juga  Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Mental dan Interaksi Sosial di Era Digital

Dalam struktur pemerintahan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki posisi strategis sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan dalam menciptakan mekanisme checks and balances yang efektif untuk memastikan jalannya pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Fungsi pengawasan DPRD menjadi sangat krusial dalam konteks polemik pengangkatan Dirut PDAM Kabupaten Kupang. Sebagai representasi rakyat, DPRD memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan pemerintah daerah—termasuk pengangkatan pejabat publik—dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

DPRD Kabupaten Kupang perlu mengoptimalkan instrumen pengawasan yang dimilikinya untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran dalam proses seleksi dan pengangkatan Dirut PDAM.

Rapat dengar pendapat dengan pihak eksekutif, pembentukan panitia khusus, hingga rekomendasi tindakan korektif merupakan langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk menunjukkan keseriusan lembaga legislatif dalam mengawal integritas penyelenggaraan pemerintahan.

Selain berperan reaktif, DPRD juga perlu mengembangkan mekanisme pengawasan yang lebih proaktif untuk mencegah pelanggaran serupa di masa mendatang.

Penyusunan regulasi di tingkat daerah yang memperkuat transparansi dalam proses seleksi pejabat publik dan keterlibatan DPRD dalam mengawasi implementasi regulasi tersebut dapat menjadi langkah strategis untuk membangun sistem tata kelola yang lebih robust.

Memahami Akar Masalah dan Mencari Solusi Sistemik

Polemik pengangkatan Dirut PDAM Kabupaten Kupang perlu dilihat tidak sekadar sebagai kasus individual, tetapi sebagai simptom dari permasalahan yang lebih sistemik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengabaian terhadap ketentuan normatif seringkali berakar pada lemahnya komitmen terhadap prinsip meritokrasi dan kuatnya pengaruh pertimbangan non-yuridis dalam pengambilan keputusan administratif.

Memperkuat sistem merit dalam rekrutmen pejabat publik menjadi imperatif untuk memutus mata rantai praktik pengabaian aturan dalam pengisian jabatan. Sistem merit yang robust mensyaratkan tidak hanya kejelasan kualifikasi dan persyaratan, tetapi juga transparansi proses, objektivitas penilaian, dan akuntabilitas keputusan.

Keberpihakan tim seleksi pada profesionalisme dan kepatuhan terhadap aturan harus diperkuat melalui jaminan independensi dan integritas anggotanya.

Komposisi tim seleksi yang mencakup unsur profesional di luar birokrasi dapat meminimalisir potensi intervensi politik dalam proses seleksi.

Pada level yang lebih luas, penguatan budaya taat hukum di lingkungan birokrasi menjadi fondasi bagi perubahan sistemik.

Budaya ini harus dimulai dari komitmen pemimpin untuk menjadikan kepatuhan terhadap ketentuan normatif sebagai prinsip non-negotiable dalam setiap pengambilan keputusan.

Baca juga  (OPINI) Mengkritisi Program '10.000 Rote Ndao': Pemberdayaan Masyarakat dan Kolaborasi Kepala Desa Sebagai Kunci Pembangunan"

Masyarakat sebagai Garda Terdepan Pengawasan

Di tengah skeptisisme terhadap efektivitas pengawasan formal oleh lembaga negara, peran masyarakat sipil dan media menjadi semakin vital.

Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi proses seleksi dan pengangkatan pejabat publik dapat menciptakan tekanan sosial yang mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Media massa dan jurnalisme investigatif memiliki peran strategis dalam mengungkap potensi penyimpangan dalam proses pengisian jabatan publik.

Pemberitaan yang akurat, berimbang, dan mendalam tentang dugaan pelanggaran dapat menjadi katalisator bagi munculnya perhatian publik dan tindakan korektif oleh pihak berwenang.

Organisasi masyarakat sipil juga dapat berperan sebagai mitra strategis DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Jaringan informasi yang dimiliki organisasi ini dapat memperkuat basis data yang diperlukan untuk mengevaluasi kesesuaian kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dengan ketentuan normatif.

Menegakkan Supremasi Hukum demi Tata Kelola yang Lebih Baik

Polemik pengangkatan Dirut PDAM Kabupaten Kupang merupakan momentum untuk merefleksikan kembali komitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap prinsip supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kasus ini mengingatkan bahwa tata kelola yang baik tidak dapat dibangun di atas fondasi pengabaian terhadap ketentuan normatif, sekecil apapun pelanggaran tersebut.

Bagi Pemerintah Kabupaten Kupang, evaluasi menyeluruh terhadap proses seleksi dan pengangkatan yang telah dilakukan merupakan langkah yang tidak terhindarkan. Transparansi dalam menjelaskan kepada publik mengenai pertimbangan di balik keputusan yang diambil akan menunjukkan kesediaan untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahan.

Bagi DPRD Kabupaten Kupang, ini adalah momentum untuk membuktikan komitmen dalam menjalankan fungsi pengawasan demi kepentingan rakyat.

Sikap tegas dalam merespons dugaan pelanggaran akan menegaskan posisi DPRD sebagai institusi yang menjunjung tinggi prinsip checks and balances dalam struktur pemerintahan daerah.

Bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap jalannya pemerintahan merupakan tanggung jawab bersama.

Keterlibatan aktif dalam mengawal integritas penyelenggaraan pemerintahan bukan sekadar hak, tetapi juga kewajiban sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan daerah.

Pada akhirnya, menegakkan supremasi hukum dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam proses pengangkatan pejabat publik, merupakan investasi jangka panjang bagi terwujudnya tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Semoga polemik pengangkatan Dirut PDAM Kabupaten Kupang menjadi titik balik menuju penyelenggaraan pemerintahan yang lebih patuh hukum dan berintegritas.(*)

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Tetap Terhubung

Berita terkini