Kota Kupang, TiTo – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengidentifikasi salah satu dari 4 korban kekerasan sex atau percabulan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja mantan Kapolres Ngada, positif menderita penyakit menular seksual dengan stadium tinggi.
Komnas HAM menemukan hal tersebut saat menjastis para korban kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak dibawah umur di Kota Kupang, NTT.
“Kami menemukan salah satu dari 4 korban kekeraan seksual yang ilakukan AKBP Fajar positif menderita penyakit seksual yang sudah parah. Sudah pada posisi stadium tinggi ,” kata Uli Parulian Sihombing Koordinator Subkomisi Penegakan HAM seperti dilansir merdeka.com.
Karena itu lanjut Uli Parulian Sihombing pihaknya memberikan rekomendasi kepada Kapolri segera memeriksa kesehatan terhadap AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja
“Untuk itu kami memberikan rekomendasi kepada Kapolri segera memeriksa kesehatan terhadap AKBP Fajar. Ini karena hasil pemeriksaan kesehatan terhadap salah satu korban anak positif terinfeksi penyakit menular seksual sehingga diperlukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh terhadap AKBP Fajar ini ,” jelas Uli.
Komnas HAM juga menurut Uli, merekomendasikan kepada Gubernur dan Walikota Kupang terkait beberapa hal, diantaranya melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh terhadap para korban anak, untuk memastikan mereka dalam kondisi yang sehat dan tidak mendapatkan transmisi penyakit apa pun, sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi.
Selain itu melaksanakan pelindungan terhadap korban 3 anak secara komprehensif dan sistematis melalui penyediaan rumah aman atau rujukan tempat aman lainnya. “Dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan dan pertimbangan yang terbaik bagi kehidupan dan masa depan korban anak,” jelas Uli.
Gubernur Harus Beri Pendampingan Psikologis Uli juga merekomendasikan kepada Gubernur NTT serta Wali kota Kupang untuk memastikan proses pendampingan dan pemulihan psikologis terhadap ketiga korban
Dilaksanakan secara komprehensif dan berkelanjutan, tidak hanya terbatas selama proses hukum saja tetapi secara berkelanjutan hingga ketiga korban memiliki kesiapan yang baik untuk kembali ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat,” tutur Uli. Selain itu, direkomendasikan untuk memastikan pelaksanaan pemenuhan hak atas pendidikan terhadap ketiga korban anak, baik melalui program pendidikan penyetaraan maupun kelanjutan pendidikan ketiga korban anak hingga tingkat tinggi. Memberikan pendampingan psikologis dan pembekalan pengetahuan terhadap orang tua dan keluarga korban agar mampu berperan dan mendampingi para korban anak dalam proses hukum yang dihadapi dan membersamai kehidupan para korban anak ke depan dengan lebih baik dan bertanggung jawab,” tutup Uli. (Sumber: fokusnusatenggara.com)