Kupang, TiTo – Pemerintah kabupaten (pemkab) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tampaknya sudah mantapkan rencana untuk mengosongkan pulau Kera di wilayah desa Uiasa kecamatan Semau dari hunian penduduk.
Ini tampak dari pernyataan bupati Kupang, Yosep Lede, dihadapan warga di desa Pantulan kecamatan Sulamu, Kamis (16/4).
Dalam vidio yang beredar Bupati Yosep Lede tegas menyampaikan kepada warga bahwa pihaknya akan merelokasi warga dari Pulau Kera. Bahkan akan melibatkan aparat keamanan jika warga bersikeras tak mau direlokasi.
Bupati Yosep Lede mengatakan pengosongan pulau Kera dari penduduk pasti dilakukan karena status kawasan Pulau Kera bukan wilayah permukiman namun kawasan pariwisata.
Dilansir timurtoday.id dari wikipedia.org, Pulau Kera merupakan wilayah Taman Wisata Laut Teluk Kupang sesuai Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993 Tanggal 28 Januari 1993 sehingga seharusnya tak ada permukiman penduduk.
Dalam dialognya bersama warga bupati Yosep Lede juga melontarkan pernyataan bahwa akan mencabut Hak Guna Usaha (HGU) yang ada di wilayah itu. Hal tersebut dilakukan karena perintah presiden Prabowo Subianto.
Ia juga menyampaikan bahwa usai libur Paskah ini, ia akan turun ke Pulau Kera. Ia meminta camat setempat untuk melakukan sosialisasi kepada warga terkait rencana tersebut.
Informasi dari wikipedia.org, Pulau Kera kini dihuni sekitar 105 kepala keluarga (KK) dengan total 422 jiwa. Mayoritas penduduknya berasal dari suku Bajau, yang sejak tahun 1912 telah mendiami pulau tersebut dan
Pulau di sebelah barat Kota Kupang itu berluasan sekira 48,17 Hektar. Pulau Kera memiliki topografi datar dengan ketinggian 0-3 Mdpl yang memiliki pasir pantai putih tanpa tutupan mangrove.
Dikutip dari lontar.id, Pulau Kera awalnya sebagai pulau yang tidak berpenghuni, kemudian pada tahun 1911 datang orang Bajo yang terkenal sebagai pelaut. Walaupun dalam keterbatasan mulai dari akses air bersih, listrik, pendidikan, pelayanan kantor pemerintah yang belum diperoleh, tidak mampu menggoyahkan masyarakat untuk tetap bertahan di pulau ini. Orang Baju menetap dan bertahan karena keindahan pantai dan kekayaan lautnya.
Mereka sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan dengan kehidupan sosial yang sederhana. Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. (jmb)